Buruh dan industri, adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Tanpa Buruh, mesin-mesin di pabrik sana, hanyalah besi tua yang
berkarat. Maka, sungguh naïf jika Negara menafikan posisi kaum buruh
sebagai tulang punggung perekonomian. Demikian ujar-ujar yang paling
tepat untuk mengambarkan nasib kaum buruh Indonesia hari ini. Perubahan
dalam penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut
sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di
bidang hukum ketenagakerjaan. Termasuk logika ekonomi kapitalistik,
dimana hubungan produksi serta tenga kerja, dikembangkan secara
ekspolitatif, telah memberikan perubahan mendasar pada tatanan sistem
masyarakat dunia.
Robert A. Nisbet dalam bukunya: “Social Change and History”,
menyebutkan bahwa, “perubahan di dalam susunan masyarakat yang
disebabkan oleh munculnya golongan buruh. Demikian halnya dengan
pengertian hak milik yang semula mengatur hubungan yang langsung dan
nyata antara pemilik dan barang, juga mengalami perubahan karenanya”.
Sifat-sifat kepemilikan menjadi berubah, oleh karena sekarang “Barang
siapa yang memiliki alat-alat produksi bukan lagi hanya menguasai
barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang hidup sebagai
buruh” .
Dari sinilah landasan awal mengapa dan kenapa nasib pekerja hingga hari
ini masih menjadi hal yang mutlak ditentukan sepenuhnya oleh pengusaha.
Pekerja menjadi manusia yang tidak bebas, pekerja menjadi layaknya
seorang budak yang hidup matinya ditentukan oleh pemiliki modal. Bahkan
dewasa ini, muncul trend baru ketengakerjaan yang hakikatnya merupakan
wujud legal dari perdagangan manusia oleh manusia layaknyanya barang
dagangan (trafficking). Inilah yang sering diistilahkan dengan model dan
bentuk sistem kerja fleksibel yang kita sebut dengan, “Outsourcing”.
Istilah outsourcing belakangan ini memang sering diperbincangkan oleh
berbagai kalangan, baik mereka yang menganjurkan sistem kerja ini
dipraktekkan dalam perusahaan, maupun mereka yang menolaknya dengan
anggapan outsourcing merupakan wujud dari pengingkaran serta
penghilangan hak-hak dasar pekerja. Outsourcing sendiri mulai ramai
diperdebatkan d Indonesia, pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, dimana aturan tersebut ditengarai
sebagai palang pintu lahirnya sistem kerja outsourcing yang sekarang
dipraktekkan dimana-mana. Sebenarnya, didalam undang-undang ini,
tidaklah mengenal penyebutan istilah outsourcing. Akan tetapi,
pengertian dari outsourcing itu sendiri dapat dilihat dalam bebera
ketentuan. Salah satunya adalah yang tertuang dalam pasal 64
Undang-undang ketengakerjaan ini, yang isinya menyatakan bahwa
outsourcing merupakan suatu perjanjian kerja yang dibuat antara
pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Sementara dalam konteks hukum, pada pasal 1601 b KUH-Perdata, outsoucing
disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian
outsourcing secara tersirat dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian,
dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi
pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak
yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan
pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Outsourcing sendiri secara harfiah berasal dari kata “out” yang berarti
keluar dan “source” yang berarti sumber. Dari pengertian tersebut, maka
dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu ;
suatu bentuk perjanjian kerja sama antara perusahaan A sebagai pengguna
jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A
meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang
diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang,
namun upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B kepada tenga
kerja yang disuplay. Tenaha kerja inilah yang disebut dengan pekerj
outsourcing. Nah, yang menjadi pertanyaan mendasar sekarang adalah,
perusahaan mana yang bertanggung jawab terhadap pekerja outsourcing?
Pekerja outsourcing memang disalurkan oleh penyedia jasa, akan tetapi
pekerja outsourcing tersebut berhadapan dengan resiko pekerjaan yang
akan dialami ditempat dia bekerja. Untuk itu, tulisan ini mencoba
sedikit memberikan alasan-alasan mengapa dan kenapa system kerja
outsourcing dan kontrak harus kita tolak dalam praktek ketenegakerjaan
di Negara kita.
Menelanjangi Kebohongan Pendukung Outsourcing
Berbagai argumentasi yang mengarah kepada pembenaran praktek
outsourcing, telah mengemuka dalam masyarakat kita. Bahkan tak sedikit
yang terpengaruh, dan berujung dengan kepasrahan untuk menerimanya.
Untuk itu, diperlukan sebuah upaya untuk menelanjangi, “bahwa system
kerja outsourcing seperti pembenaran yang mereka lakukan, adalah salah
didepan keadilan dan kebebasan pekerja”. Mari kita lihat satu persatu
argumen-argumen tersebut.
Pertama, mereka mengatakan bahwa dengan praktek outsourcing, maka akan
mampu menyerap lapangan kerja dan mengatasi pengangguran. Argumen ini
berdasarkan asumsi bahwa jika pola system kerja outsourcing yang
diterapkan, maka secara langsung membuka kesempatan bagi siapa saja
untuk berkompetisi. Bahkan bagi mereka yang sebelumnya berada pada
sektor informal, dapat terseret kedalam sector formal yang lebih
terproteksi dan menjanjikan. Pertanyaannya kemudian, apakah pola ini
tidak memerlukan pola adaptasi kerja yang lama?. Inilah salah satu
kelemahan system kerja outsourcing ini. Harapan untuk meningkatkan
kinerja dan keuntungan perusahaan, justru akan menjadi boomerang
dikemudian hari. Misalnya saja seorang pekerja tekstil dengan status
outsourcing, tentu akan menjadi gagap ketika harus dengan tiba-tiba
disalurkan keperusahaan pertambangan atau alat berat. Begitupun
sebaliknya, seorang pekerja tambang, tentu akan merasa terasing ketika
tiba-tiba harus dislaurkan kesektor jasa atau retail. Bukankah pola ini
justru akan berakibat kontra-produktif terhadap kinerja perusahaan?.
Apakah ini yang disebut dengan efektifitas kerja dari pola outsourcing?.
Sama sekali tidak…….!!!
Kedua, mereka menganggap bahwa dengan praktek kerja outsourcing, maka
pendapatan perusahaan akan lebih maksimal, sehingga tingkat upah pekerja
akan lebih terjamin (balance of salary). Ukuran stabilitas internal
perusahaan ini lebih dititik beratkan pada asumsi bahwa perusahaan tidak
lagi dibebankan untuk memikirkan upah pekerja, namun akan lebih focus
untuk mengejar target pasar komoditasnya.
Ketiga, outsourcing akan lebih mampu menyerap tenaga kerja tanpa
diskriminasi. Alasan ini lebih kepada mengugat pola praktek perusahaan
keluarga (closed corporation) yang lebih mengukur serapan tenaga kerja
suatu perusahaan berdasarkan garis keturunan dan hubungan kekeluargaan .
Hal ini dianggap menghalangi perusahaan untuk memenuhi mekanisme pasar.
Dengan praktek outsourcing, tradisi yang sudah using ini akan secara
otomatis terkikis. Secara prinsip, outsourcing akan lebih membuka
persaingan tenaga kerja yang lebih kompetitif sesuai dengan kehendak dan
kebutuhan pasar tenaga kerja.
Kenapa Kita Harus Menolak Outsourcing???
Pertama, sistem kerja outsourcing membuat status hubungan kerja
buruh menjadi tidak jelas. Misalnya begini ; jika kita bekerja pada
perusahaan A (second company), dimana sebelumnya kita disalurkan oleh
perusahaan B (parent company), maka ketika terjadi pelaggaran hak-hak
normatif (upah dibayar lebih rendah dari UMP/UMK, jam kerja yang
berlebihan, lembur yang tidak dibayar, tunjangan hari raya yang tidak
diberikan, pelarangan cuti, PHK, dll), maka akan timbul suatu pertanyaan
; kepada siapa kita harus menuntut? Apakah kepada perusahaan A yang
mempekerjakan kita, ataukah kepada perusahaan B yang menyalurkan kita?.
Ketidakjelasan ini membuat kita sulit dan bingung mengenai hubungan
kerja kita. Bahkan lebih parahnya lagi, baik perusahaan A maupun
perusahaan B, saling lempar tanggung jawab terhadap tuntutan yang kita
inginkan.
Kedua, outsourcing berakibatkan kepada semakin lemahnya posisi
buruh dalam perusahaan. Hal tersebut dilator belakangi oleh status kita
yang berbentuk hubungan kerja yang sifatnya sementara dengan masa kerja
yang ditetapkan selama kurung waktu tertentu (1 tahun, 2 tahun, bahkan
ada yang hanya berkisar 3-4 bulan). Hal ini berakibat semakin kuatnya
posisi pengusaha jika berhadapan dengan pekerja, sehingga memberikan
ruang yang sangat besar bagi pengusaha tersebut untuk menindas buruh
dalam perusahaannya. Pengusaha dapat dengan sewenang-wenang
memberhentikan buruh (PHK) sesuai dengan kemauannya. Ketakutan
berserikat, berkumpul, menuntu perbaikan, serta menyatakan pendapat-pun
menjadi terbatasi akibat posisi tawar buruh yang lemah ini, ditambah
ancaman PHK yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh pengusaha.
Ketiga, outsourcing akan menghilangkan hak serta jaminan masa
depan buruh. Apa itu jaminan masa depan?. Sederhananya, merupakan
jaminan biaya hidup yang harus dihadirkan oleh perusahaan jika suatu
saat nanti buruh sudah tidak memiliki produkstivitas kerja yang baik dan
maksimal akibat factor fisik (pension), dan atau penghargaan kerja yang
menjadi kewajiban pengusaha akibat terputusnya hubungan kerja (PHK).
Sebagai contoh ; Jika bagi mereka yang berstatus pekerja tetap berhak
mendapatkan Jaminan Hari Tua (JHT), maka yang bekerja dengan status
outsourcing tidak berhak mendapatkan apa-apa. Jika pekerja tetap
mendapatkan pesangon pada saat terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK), maka pekerja yang berstatus outsourcing jangan pernah berharap
akan memperoleh pesangon.
Keempat, outsourcing mempraktekkan dehumanisasi atau pengingkaran
hak dasar seseorang layaknya manusia yang bebas dan merdeka. System
kerja outsourcing ini sama sekali tidak menghargai buruh layaknya
sebagai seorang manusia. Sebab, outsourcing tidak lebih dari bentuk
perdagangan manusia kepada manusia lainnya (trafficking). Dimana buruh
tak ubahnya seperti barang yang diperjual belikan dengan seenaknya oleh
pengusaha.
Kelima, outsourcing akan mengakibatkan tingkat pengangguran yang
semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh syarat kerja outsourcing yang
menekankan keterampilan kerja (labour skill) yang kompetitif, sementara
kondisi buruh di Indonesia sama sekali belum memadai untuk memiliki
keterampilan multi-bidang. Misalnya saja seorang buruh disektor informal
yang tiba-tiba harus diserap oleh sector formal, maka akan menjadi
kontra-produktif akibat adaptasi yang membutuhkan waktu yang lama.
Keenam, outsourcing akan semakin meminimalisir fungsi dan peran
serikat (worker’s organization) dalam perusahaan, bahkan akan
dihilangkan sama sekali jika perusahaan menghendakinya. Hal tersebut
dikarenakan hubungan kerja kita dalam perusahaan akan lebih bersifat
individu, antara pekerja dengan pengusaha. Dengan demikian upaya
perjuangan hak dan kepentingan kita melalui serikat, akan semakin
terbatasi secara langsung, terlebih ketika ancaman PHK oleh perusahaan
semakin mudah dilakukan setiap saat akibat posisi tawar yang lemah
tersebut.
Jika praktek outsourcing ini terus terjadi, dan bahkan semakin meluas,
maka dapat dipastikan bahwa buruh sepenuhnya akan menjadi sapi perah
bagi yang mengupahnya. Buruh tak akan mampu berdiri sendiri sebagai
seorang pekerja yang memiliki derajat layaknya seorang manusia yang
berhak mendapatkan hak secara jasmani dan rohani.
Baca Juga Yang Dibawah Ini: